Aku Ingin Sekolah
Holdan Parlaungan Simamora
Holdan Parlaungan Simamora
Setiap hari mentari membangunkan mimpi-mimpi yang kita
tinggalkan semalam, menyadarkan kita akan penghidupan, menciptakan khayal dan
perjuangan yang di tengahi dengan ribuan rintangan. Fajar kali ini dihiasi deru
bising kendaraan membangunkan tubuh yang harus segera menghadapi proses.
Jalanan padat, namun udara tetap dingin. Di lampu merah sudah bersiap manusia
yang berlomba merebut kata sukses, tidak terkecuali juga sekumpulan anak yang
hanya memakai kaos oblong dan alat musik buatan sendiri dari tutup botol juga
lap kain di bagian tangan yang lain.
Aku berada di tengah-tengah manusia dengan harapan
juga cita-cita yang entah. Anak-anak di lampu merah itu mencoba menyapaku dari
sisi lain, menyapa aku sebagai manusia yang tidak pernah sampai pada titik
berdaya.
Lampu belum kunjung berganti warna dari merah, aku
masih terdiam di tengah-tengah mereka yang mengejar dunia dengan
terengah-engah. Aku mulai mengingat kembali anak laki-laki itu, kulit sawo,
rambut ikal dengan bau matahari juga tangan yang tidak ada lembut-lembutnya.
"Bro, nanti pulang sekolah kita main bola yok,
ketemuan di lapangan dekat rumah."
Aku terdiam, seingatku hanya mengangguk dan tersenyum tanpa menanyakan jam
berapa harus bertemu. Namun jawabanku tetap sama, tidak punya waktu untuk
bermain-main. Bagiku permainan paling asik adalah mengisi waktu dengan
merangkai harap, menggambar khayal juga merajut cita.
Aku seorang anak bungsu yang bernasib lain. Lahir di
keluarga yang kurang berada, tentu aku berbeda dengan si bungsu lainnya. Ketiga
saudara kandungku juga harus bekerja
sambil sekolah. Sewaktu kecil kami pernah menjadi pemulung sampai akhirnya
abang tertua bisa kuliah sambil bekerja sebagai penambal ban. Aku si bocah
kecil yang masih sekolah, belum bertenaga layaknya pendongkrak ban mobil
sehingga harus ikut ibu menjawat di ladang orang ketika pulang sekolah kemudian
keliling kampung saat sore hari.
"Sayuuur.. Sayuurrr!" suara itu terngiang diingatanku.
Aku merasa berbeda saat
melihat anak-anak lain bermandi keringat bahagia bermain di lapangan sepak bola
namun aku harus bungkuk mengambin ikatan demi ikatan kangkung, teriakan lantang
dariku mengelilingi seisi kampung namun meredup ketika mendekati lapangan bola.
Aku mau, tetapi belum mampu. Aku sanggup, tetapi malu. Aku sedang kebingungan
mana yang sebenarnya lebih merujuk pada kebahagiaan. Menyingkap keringat dengan
sayur yang habis dan laris atau menghela napas panjang setelah sekian menit
berlari mengejar bola dan diakhiri dengan minum sirup manis.
Saat
melintasi lapangan bola itu, sering kujumpai ibu-ibu yang sedang berkumpul di
pinggir lapangan sambil menyaksikan hebatnya pertandingan sore itu, memilih
ikatan-ikatan terbaik kangkung yang ku tawarkan,
Salah satu celotehan ibu-ibu,
“ Bapak ibumu, kerja toh, Masa buat jajanmu aja gak dapet!”
“ Iya bu, tapi jualan sayur buat sekolah bukan buat jajan.” Jawabku
“Halah, suamiku aja pegawai bank, anaknya sekolah di kampung, kamu
sok-sok an sekolah diluar kota.”
Saat itu aku tertunduk, remeh memang seolah tak boleh
sekolah tinggi karena anak seorang kuli yang
tidak ada kepastian kapan bekerja dan dapat berapa, tapi aku punya tekad
yang kuat agar rantai kemiskinan ini bisa diputuskan.
Untungnya aku mengenal banyak orang-orang hebat,
termasuk salah satu ustad yang selalu mengumandangkan adzan di langgar
kampungku. Ustad yang kerap menceritakan banyak hal demi memupuk tunas mimpiku,
anak kecil yang malu-malu ini. "Sekolah adalah jembatan menuju
kebaikan, belajar adalah langkah kaki yang membawamu menyeberangi jembatan itu,
dan doa serta usaha apa yang membuatmu sampai pada tujuan dengan tepat."
Setelah hari itu, aku mengingat baik-baik setiap kalimat yang ia berikan.
Seragam putih yang telah berubah warnanya menjadi kuning dan celana biru yang
jadi abu-abu itu menjadi saksi bahwa ada anak laki-laki yang setengah mati
berjuang mengenyam bangku pendidikan meski dicekik keadaan.Tentu wajah orang
tua tak luput dari ingatanku. Kerut wajah juga guratan pembuluh darah di tangan
beliau menceritakan banyak hal mengenai pengharapan. Tangan yang tidak pernah
berhenti bekerja, mulut yang tidak pernah berhenti berdoa juga hati yang tidak
pernah pudar. Rasa percaya itu menjadi kekuatan tersendiri bagiku.
Aku pernah membaca bahwa masa SMA adalah hadiah dari
Tuhan, setiap pagi menyambut ladang, menuai benih, menyiram dengan harapan yang
pasti namun hasil yang masih entah selain yakin. Kaki kecil itu hanya melangkah
mengikuti segala arah yang menuju kebaikan namun asa dan cita menamai setiap
langkah sebagai perjuangan. Sesekali mungkin berat, seringkali kepayahan namun
bukankah itu sari kehidupan yang manis ini? Sesuatu yang pahit namun ampuh
dalam mengobati.
"Sekolah jauh-jauh, Mamakmu susah setengah mati
di kampung."
"Rumah udah mau roboh masih sok-sokan sekolahin
anak tinggi-tinggi."
Kalimat ini kerap mampir di telingaku anak laki-laki
yang saat itu memang sudah tidak anak-anak lagi. Aku sudah diberi kesempatan
untuk memahami kesulitan dan kemudahan yang hanya dibatasi oleh kata-kata.
Hingga Ibu menyadarkanku bahwa kata-kata hanyalah perihal sesuatu yang
dilepaskan dan sampai sisanya terserah kita untuk menolak, membuatnya tidak
sampai atau bahkan mengembalikannya ke alamat asal.
"Kamu hanya perlu terus berjuang dan belajar,
sisanya biar mamak dan bapak yang usahakan". Aku mengingat ketika kalimat itu diucapkan dari bibir
Ibu. Semua pengharapan dan keraguan memenuhi setiap ruang di kepalaku. Untuk
seorang anak yang diharapkan dan dipercaya tentu tidak ada pilihan lain selain
melanjutkan perjuangan. Aku percaya ketika memutuskan untuk melanjutkan cita
dan asa serta telah direstui orang tua maka semesta akan punya ribuan cara
untuk membantu.
Keberhasilan dan kegagalan yang disekat perjuangan itu
membuatku selalu percaya setiap hal akan berujung baik kelak. Dibuktikan dengan
selembar surat sebagai gerbang menuju perjuangan selanjutnya. Aku gemetar,
harapanku melambung tinggi, aku diam menatap kata "lulus" yang
sebelumnya telah diawali dengan kata selamat. Selamat melanjutkan perjuangan,
selamat merajut asa, selamat mengepulkan semangat dan melangitkan doa, demi
pendidikan tinggi. Hidup memang penuh kejutan baik dan buruk beriringan sesuai
kehendak Tuhan.
Aku ingat waktu itu ibu sedang tidak bisa apa-apa,
kakinya setengah mati menahan gejala struk, jangankan untuk melanjutkan kuliah,
untuk makan saja belum tentu ada karena harus membeli obat peredam rasa sakit
di kaki ibu. Ibu yang selalu mengangkut kayu bakar dan memasak kangkung liar
dari sawah kini tugasnya harus tergantikan.
Langit biru juga cerah mentari seolah sedang memelukku.
Entah berhutang dari mana yang jelas kali itu pembayaran kuliah pertama
berhasil dilakukan, meski setelahnya ketika di perantauan harus menginap
beberapa hari di masjid yang disediakan kampus sebab tak punya uang untuk
menyewa tempat. Namun lagi-lagi semesta memberi kejutan, setelah diperbolehkan
bersendel bahu sebagai pegawai kantin kampus. Aku dikenalkan kepada orang baik
yang menawarkan untuk tinggal bersama, itu seorang pengusaha muda garment dan percetakan, di sini kemudian
sampan mulai kudayung menangkap ikan
sambil mencari udang. Aku bekerja paruh waktu hanya sekedar mendesain baju
untuk mencukupi biaya kuliah dan sedikit
mengirim belanja dapur di kampung.
Aku yang masih di atas motor dengan ingatan yang
berselancar kemana-mana merasa seolah waktu berhenti sejenak, mengingatkan
kembali setiap perjuangan yang tidak ada habis-habisnya menemui pintu kebaikan.
Semua berperan, baik teman, keluarga, lingkungan, bahkan negara. Tidak lama,
deru kendaraan dan sautan klakson membangunkanku dari lamunan. Lampu kembali
duduk di posisi hijau tanda untuk kembali melanjutkan perjuangan. Aku yang dari
tadi, kembali ke pinggiran jalan, menghitung beberapa lembar dan koin dari
dalam plastik.
Aku meyakini bahwa yang ada di dalam ingatanku tidak
akan pernah berubah. Keinginanku tetap kokoh juga niat tetap satu. Semua harus
merdeka, semua harus mencapai titik kebahagiaannya masing-masing, semua harus
mengambil peran untuk pembangunan negeri, dan semua harus memutuskan rantai
nestapa yang dipupuk kemiskinan.
Semilir
angin sampai pada wajahku, rasanya tidak berlebihan jika aku berterima kasih
kepada anak laki-laki yang tidak lain adalah diriku sendiri. Anak laki-laki
yang menemui banyak keberuntungan, anak laki-laki yang dipeluk banyak kebaikan
juga anak laki-laki asuhan Bidikmisi yang tetap bercita membangun negeri. Asa
dan cita ini akan berlanjut, akan tetap kuperjuangkan hingga menemui bentuk
nyata dari perubahan.